27/03/17

BERPERANG MELAWAN SUAP

Berperang Melawan Suap

 Endar Yoh     10 Sep 2015    Presiden  

Nasehat ayahku

Ingat aku kepada bapak ketika masih hidup dan sehat
Waktu itu ia memberi aku suatu wejangan dan nasehat
Nak, kita sudah merdeka, penjajah sudah tak terlihat
Ada suatu yang  berharga yang seharusnya kita perbuat

Janganlah kita berharap dapat makan dari uang rakyat
Nak, waktunya sekarang memberi makan para aparat (bayar pajak maksudnya)
Bukan waktunya lagi berjuang dengan bedil dan geranat
Meningkatkan taraf hidup bangsa, itu lebih bermanfaat

Nak, janganlah sekali-kali menyuap pejabat dan aparat
Biarpun mungkin mereka bertingkah seperti penjahat
Tetaplah setia lakukan kewajibanmu dengan berhikmat
Ingatlah selalu, kakekmu itu pahlawan bangsa terhormat



Oleh : Y. Kusdharmanto, JM

Presiden Yang terhormat,

Melalui surat ini sebenarnya saya ingin menyampaikan keluh kesah saya sebagai warga negara Indonesia, yang berharap keadilan. 


 Saya adalah cucu dari Prof. Dr. Moestopo.  Oleh kakek saya, saya dititipkan sebuah lembaga pendidikan, saya sekarang adalah pengawas di yayasan tersebut. 

 Bapak Pernah mencanangkan "Kita harus melawan budaya suap, jangan budayakan suap".  Saya sudah berusaha untuk mengikuti perintah Bapak, tapi yang terjadi malah saya tidak dilayani  aparat yang seharusnya menjadi hak saya sebagai warga negara.  

Bersama bendahara Yayasan (kebetulan adik saya)kami menemukan dugaan kasus korupsi, yaitu memindahkan kekayaan milik Yayasan kakek saya ke rekening pribadi dan dugaan mark up biaya pembangunan gedung.  Kami mendapatkan bukti awal diantaranya berupa print transaksi elektronik rekening bank dan surat pernyataan pemindahan rekening.  Berdasarkan bukti awal tersebut, maka saya melaporkan ke polda metro jaya.  Pertama-tama kami dilayani dengan baik, pihak kepolisian merespon pengaduan kami, bahkan pihak kepolisian telah menunjuk auditor investigatif yang dikirim ke Yayasan kami.  Tetapi entah mengapa ketika auditor itu mulai melakukan pemeriksaan, mereka bisa dihadang oleh pihak terlapor, dengan alasan harus minta ijin dari kehakiman (menurut UU ITE no. 11 tahun 2008 yang berhak untuk mengambil data adalah kepolisian, kehakiman dan kejaksaan).  Akhirnya, terpaksa kami membuat permohonan kepada kehakiman agar audit investigasi ini dapat berjalan (herannya mengapa kami, bukan kepolisian seperti di film-film tentang kejahatan di tv kabel). 

Keputusan dari kehakiman, permohonan kami ditolak, alasannya sudah dilakukan audit(adil tidak kalau auditornya dipilih oleh pihak terlapor?), tidak sesuai dengan substansinya(ada hukumnya, yaitu UU no. 28 tahun 2004), tidak cukup bukti (yang jadi pertanyaan saya apakah lebih dari 20 sekian bukti kurang? katanya KPK cuma butuh 2 bukti saja sudah cukup?  Apakah bukti e-banking tidak bisa dijadikan barang bukti, kalau tidak bisa, pantas bank-bank nasional kita tidak dapat dipercaya, BInya juga dong, sebenarnya bukti itu bisa di ferifikasi di bank yang bersangkutan).  

Dengan ditolaknya permohonan kami, berarti pengadilan menghentikan audit investigasi yang bertujuan untuk pengungkapan kebenaran.  Setelah itu penyidik yang telah ditunjuk tiba-tiba diganti dan laporan kami kepada pihak kepolisian terkatung-katung sampai satu tahun.  Anehnya lagi kami sebagai pelapor lebih sering dipanggil ke kepolisian daripada terlapor, dan pertanyaan dari pihak kepolisian sangat tendensius seperti mencari-cari kesalahan kami.  

Suatu ketika, ketika kami, keluarga Moestopo sedang rapat di ruang tamu di rumah nenek kami, kakak kami menemukan ada kamera dan penyadap tersembunyi di ruang tamu itu, jadi dirusaklah kamera tersebut.  Menurut UU ITE no. 11 tahun 2008, seharusnya pemasangan alat penyadap dan kamera di area non publik adalah melanggar hukum, dan pelanggarnya diancam hukuman pidana 10 tahun penjara, hukumnya jelas, tetapi lucunya malah kakak saya diancam oleh polisi sebagai tersangka karena dilaporkan oleh seorang karyawan security kontrak Yayasan (ini juga masalah, karena kontraknya saja tanda tanya)dengan alasan merusak barang milik umum/Yayasan (jelas-jelas kamera itu ada di ruang tamu milik nenek kami yang bukan wilayah publik). 

 Kami sebagai warga negara dan juga keturunan dari Mayjen (Purnawirawan) TNI Prof. Dr. Moestopo yang juga adalah pejuang kemerdekaan Indonesia merasa diperlakukan tidak adil.  Ini adalah seklumit dari pengalaman yang benar-benar kami alami.  Sayapun sebagai penulis sempat disusahkan, seperti motor saya pernah disabot supaya saya celaka, untung Tuhan yang Maha Kuasa masih melindungi saya sehingga saya masih boleh selamat.  

Kami sekeluarga sangat mengharapkan kebijaksanaan dari bapak presiden.  Untuk membersihkan atau mengurangi korupsi dan suap di Indonesia butuh komitmen dan kerjasama yang kuat, semua itu harus dimulai dari aparat terlebih dahulu.  Jika aparatur penegak hukum seperti kepolisian, kehakiman dan kejaksaan itu bebas korupsi dan suap, maka rakyatpun nantinya akan mengikuti, selain itu perlu juga pendidikan, dimulai dari pendidikan dalam keluarga.  Kami percaya, baik di kepolisian, kehakiman dan kejaksaan masih banyak pula orang-orang yang benar, yang mau mengabdi kepada negara dan masyarakat dengan semangat dan integritas yang tinggi.  Kita harus bersatu-padu, tak mungkin korupsi dan suap dilawan sendirian, karena yang berbuat curang biasanya dapat keuntungan lebih (high risk high return).
Demikian keluh kesah kami kepada bapak Presiden.  Mohon kiranya bapak Presiden memaafkan kami bila  ada kata-kata kami yang kurang berkenan, atas perhatian Bapak kami ucapkan terima-kasih.

https://www.laporpresiden.id/10032/berperang-melawan-suap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar